Minggu, 11 Juni 2017 00:00 WIB | Dibaca : 2300
Masjid Jami Kalipasir, Simbol Toleransi dan Kerukunan Antar Etnis
Masjid Jami Kalipasir, Simbol Toleransi dan Kerukunan Antar Etnis

Kota Tangerang dengan berbagai ikon sejarah di dalamnya menyimpan begitu banyak cerita sekaligus pelajaran hidup. Salah satu ikon sejarah Kota Tangerang yang tidak boleh dilewatkan adalah Masjid Jami Kalipasir di Sukasari, Tangerang. Selama berabad-abad, masjid yang terletak tidak jauh dari Klenteng Boen San Bio tersebut menjadi simbol kerukunan beragam etnis di Kota Tangerang.

Masjid Jami Kalipasir berada di pemukiman Tionghoa, tepatnya di sebelah timur bantaran Sungai Cisadane. Masjid tertua di Kota Tangerang ini merupakan peninggalan kerajaan Pajajaran. Meski sudah lama diketahui keberadaannya, belum ada penetapan kapan didirikannya.

Pihak pemerintah Kota meyakini masjid tersebut berdiri pada tahun 1700. versi lain mengatakan masjid tersebut berdiri 1640 Masehi.

Namun terlepas dari itu semua, masjid ini telah menjadi bukti keharmonisan warga Kota Tangerang dari beragam etnis. Masjid ini dibangun oleh bangsawan Kahuripan Bogor dibantu oleh warga muslim sekitar dan warga Tionghoa. Sentuhan Tionghoa nampak dari bentuk menara masjid yang menyerupai Pagoda.

Lebih dari itu, keharmonisan juga terlihat dari interaksi antarwarganya. Salah satu pemerhati Sejarah Majid Jami Kalipasir, Haris Bayu mengungkapkan, rumah keluarganya yang berada tak jauh dari masjid kerap digunakan untuk petemuan antarwarga.

Selain sebagai ajang silaturahmi, rumah tersebut juga digunakan sebagai tempat rapat kegiatan budaya. Kegiatan kebudayaan seperti festival Peh Cun, tidak hanya diikuti oleh warga Tionhoa, warga muslim dan pribumi pun turut serta.

Hingga kini, rumah tersebut masih dipertahankan seperti bentuk lamanya. Kang Bayu, sapaan akrab Haris Bayu, mengaku sudah beberapa kali ditunjuk sebagai panitia pelaksana kegiatan tersebut.

Bersama tokoh masyarakat Tionghoa, Haris juga ikut mempersiapkan hajat tahunan etnis Tionghoa tersebut. Namun, Haris menilai toleransi dan kerukunan mulai pudar di pemukiman tersebut. Dia mengenang masaya beberapa dekade lalu.

Warga kompak dan antusias mengikuti berbagai kegiatan bersama. "Kita di sini luar biasa lho, presiden pernah mengeomborkan tolrenasi. Kita dari dulu sudah melalukannya. Peh Cun saya ikut. Bukan Tionghoa saja, muslim pun ikut," imbuhnya.

Pudarnya keharmonisan di pemukiman tersebut seiring dengan tak terawatnya masjid Jami Kalipasir. Meski terbukti bernilai sejarah tinggi, hingga kini masjid tersebut belum mendapat perhatian yang layak dari Pemerintah Kota Tangerang.

Haris mengungkapkan, sejumlah artefak dan benda-benda sejarah hilang dari masjid itu. Selain itu, kondisi fisik bangunan masjid ini telah mengalami banyak perubahan. Ornamen-ornamen bergaya Eropa, kata Haris, telah hilang berganti dengan keramik-keramik pelapis tembok.

"Sudah banyak direnovasi, dulu masih nampak lekukan-lekukan yang indah di tembok masjid, sekarang sudah dikeramik," tambahnya. Haris menyayangkan kondisi tersebut. Dia khawatir bila Pemkot tidak segera menanganinya, bukti sejarah perlahan hilang dan dilupakan generasi penerus. Dia berharap masjid dan pemukiman setempat bisa ditetapkan sebagai obyek wisata sejarah.

Nilai-nilai sejarah, sambungnya, dapat ditemukan di beberapa titik di sekitar masjid Jami Kalipasir, salah satunya adalah makam para bangsawan kerajaan di pelataran masjid tersebut. "Ini kan aset harus dijaga yang masih bertahan, beberapa sudah hilang.

Maka kami anak-anak keturunan mau mepertahankan ini supaya lestari. Kalipasir ini kampung tertua di kota Tangerang



Artikel Terkait


Komentar

Pastikan Google Captcha Sudah Tercentang !!!